Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 September 2019

Luther dan Katolik (ditulis oleh Romo Simon Petrus L. Tjahjadi)

Tulisan tahun 2017  lalu dalam rangka menyambut 500 tahun reformasi. Pada tahun 2017 bertepatan dengan peringatan 500 tahun Reformasi. Romo Simon menulis suatu artikel di majalah HIDUP. Foto artikel ini dari WA yang dikirim oleh Romo Simon. Berikut isi artikel tersebut:


LUTHER DAN KATOLIK

Seorang biarawan muda dari Jerman bernama Martin Luther (1483-1546) membuat geger kalangan Gereja, tatkala ia dikabarkan telah memaku pernyataan sikapnya pada pintu masuk gereja biara di Kota Wittenberg, 31 Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktik Gereja Katolik yang antara lain memperdagangkan “surat pengampunan dosa” agar mendapatkan uang bagi pembangunan aneka proyek megah, termasuk Gereja St Petrus di Roma.
Banyak orang sederhana zaman Luther percaya, dengan membeli surat itu, mereka akan memperoleh keselamatan, sebab dosa mereka dan dosa mereka yang didoakan, diampuni. Tapi apa artinya ini? Artinya, keselamatan manusia pada akhirnya merupakan hasil prestasi manusia itu sendiri, bukan lantaran rahmat Allah semata!
Nah, Luther mengoreksi cara berpikir demikian (bahwa keselamatan bisa diperoleh dengan prestasi manusia sendiri). Di dalam batinnya Luther sendiri mengalami, betapa ia tetap merasa berdosa meski telah melakukan banyak usaha untuk hidup baik. Pertanyaanya, bagaimana manusia bisa mendapatkan keselamatan atau –dalam bahasa Luther– memperoleh “iustificatio” (pembenaran) dari Allah?
Dalam renungannya atas surat Roma 1:17, Luther menemukan ayat ini: “Sebab di dalam Injil nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’”. Sekarang Luther menemukan jawabannya: manusia memperoleh pembenaran dari Allah berkat iman dan hanya iman (sola fide)! Dalam imannya, manusia boleh merasa pasti bahwa ia “dibenarkan” oleh Allah lantaran rahmat-Nya semata-mata (sola gratia), maka bukan melalui segala macam perbuatan baik dan saleh hasil prestasinya sendiri. Kepastian ini diketahui dari Kitab Suci saja (sola scriptura), bukan filsafat dan hukum Gereja.
Ajaran Luther tersebut membahayakan posisi resmi Gereja Katolik saat itu. Pada 18 April 1521, dalam sidang di Worms, Luther didesak untuk mencabut ajarannya. Tapi, ia menolak dengan berkata: “Oleh karena suara hatiku terpaut pada Sabda Allah (=Kitab Suci), maka aku tidak bisa dan tidak akan mencabut ajaranku. Sebab celakalah dan mustahillah bahwa aku melawan suara hatiku sendiri. Semoga Tuhan menolong aku!” Perpecahan besar dalam sejarah agama Kristiani pun terjadi. Luther dikucilkan. Namun, ajarannya kelak mendasari munculnya Protestantisme.
Dalam sejarah teologi, ada perdebatan mengenai pembenaran “karena iman semata” (dari pihak manusia) atau “karena rahmat semata” (dari pihak Allah) ini. Luther dituduh melawan ajaran Kitab Suci, bahwa “iman tanpa perbuatan pada hakikatnya mati” (Yak 2,17), hal mana berarti untuk keselamatan diperlukan baik iman maupun perbuatan.
Tetapi prinsip “hanya iman” pada Luther tidak boleh ditafsirkan bahwa manusia hanyalah bersikap pasif dan tidak perlu berbuat baik untuk keselamatannya. Luther mau mengatakan, bahwa keselamatan manusia itu berasal dari Allah, dan bahwa manusia tidak bisa “menyogok” Allah untuk menyelamatkannya, “sebab” ia telah melakukan perbuatan baik. Keselamatan dari Allah adalah anugerah atau rahmat Allah melulu! Manusia menanggapinya secara positif dalam iman yang hidup. Dari iman yang hidup inilah, muncul pelbagai perbuatan baik yang nyata sebagai ungkapannya. Jadi, perbuatan baik, misal ziarah, puasa, ibadat, dan sebagainya “bukanlah” ganti (substitusi) bagi iman, melainkan konsekuensi dari iman yang hidup. Ibarat pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, demikianlah orang beriman. Kata Luther, “Perbuatan baik tidak akan pernah membuat seseorang menjadi baik dan saleh, melainkan sebaliknya, seorang yang baik akan melakukan perbuatan yang baik dan saleh.”
Berkat adanya pemahaman baru ini relasi Gereja Katolik dengan Gereja Protestan makin terasa erat. Sejak pertemuan di Augsburg, 31 Okt 1999, diperoleh persetujuan menyangkut “pembenaran karena rahmat” ini antara pihak Katolik dengan Ikatan Gereja Lutheran Sedunia, lalu dilanjutkan dengan Dewan Gereja Metodis Sedunia (23 Juli 2006), dan akhirnya dengan Perserikatan Gereja Reform Sedunia (4 Juli 2017) di Wittenberg. Salah satu dari beberapa kerikil tajam yang mengganggu ekumene dengan demikian disingkirkan lewat pengakuan bersama: “Kami bersama-sama mengakui, bahwa dalam upayanya mencapai keselamatannya tergantung sepenuhnya pada rahmat Allah… Pembenaran terjadi karena rahmat semata”.
Simon Petrus L. Tjahjadi


Jumat, 01 Maret 2013

Kliping Resensi Buku -Sheila-



Ini kliping koranku tentang novel Sheila. Cukup bagus isinya dan menambah pengetahuanku akan anak autis.
Posting klipingku dulu tentang  resensi buku yang berjudul Sheila.Tidak jauh-jauh dari dunia anak. Sheila adalah kisah nyata anak yang diceritakan lewat penalaman guru kelas Sheila. Ini juga menjadi inspirasiku  beberapa tahun kemudian ketika aku menjadi guru anak-anak.

Ada juga kliping tentang Donna Williams,kisah nyata anak autis. Sekitar tahun 2003, minatku terhadap anak juga anak berkebutuhan khusus begitu besar. Salah satu cara pembelajaran yang dilakukan, yaitu dengan mencari buku-buku yang berkaitan dengan tema itu. Nah, kebetulan aku penikmat novel, jadi cocok kalau kisah anak autis ini dipelajari lewat novel juga.
Pengalaman Donna Williams menjadi inspirasi bagi tiap anak atau tiap orang bahwa meskipun mereka berkebutuhan khusus, tetapi mereka dapat berkarya. Bahkan karya mereka bisa lebih baik dari anak-anak atau orang yang dianggap normal (Walau kategori dan pengistilahan kata "normal: ini juga menurutku tidak cocok dipakai untuk menilai manusia/anak).

Nah, ini langkah awal untuk tidak malas menulis. So, sekian dulu curhat hari ini.  :-)






Kamis, 21 Juli 2011

Menyelami Keibuan (tulisan favoritku dari Opini Kompas)


Oleh Elias Situmorang

Memberikan
diri sepenuhnya dalam kerja dan tugas sehari-hari, berkorban perasaan, pendapat, dan kehendak, itulah salah satu kekuatan perjuangan ibu.
Bangun tengah malam untuk mengganti popok anaknya, menyiapkan kebutuhan keluarga di pagi hari, itulah kerja harian ibu.

Pada masa lampau sampai dengan dekade terakhir tahun 1980-an merupakan abad industri dengan teknologi biasa saja, yang mensyaratkan pekerja dengan otot kuat dan stamina kesehatan tinggi. Tetapi, sekarang ini kita memasuki teknologi informasi yang serba canggih, yang lebih membutuhkan tenaga yang informatif, terampil, dan teliti, yang membutuhkan akurasi komputer.

Dengan kata lain, abad-abad industri yang menggunakan teknologi kurang tinggi pada masa lampau yang membutuhkan pekerja lelaki, sedangkan abad industri informasi dengan teknologi tinggi dewasa ini lebih membutuhkan pekerja perempuan yang cocok dengan sifat lingkungan kerjanya. Kalaupun dibutuhkan pekerja dengan kekuatan otot, sekarang ini teknologi robot sudah bisa menjawab kebutuhan tersebut, bahkan secara ekonomis pembiayaannya menjadi lebih murah dan secara organisasional lebih gampang diatur.

Perempuan yang dari kodratnya bersifat kuratif, informatif, dan mampu melayani sebagai penjaja lebih cocok dengan industri informasi yang membutuhkan teknologi tinggi dan komputerisasi akurat. Dalam kehidupan sehari-hari juga kita alami bahwa pendekatan perempuan pada umumnya jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan pendekatan laki-laki, sebab perempuan itu mudah senyum dan kaya dengan kata (J Naisbitt dan P Aburdene, Megatrends 2000, New York, 1990).

Sadar bahwa perempuan memiliki potensi dalam hubungan relasional, maka peranan perempuan sekarang ini dalam hidup politik di mana-mana cukup menonjol. Kaum perempuan tampaknya semakin menyadari bahwa martabat hakiki mereka pada kesetaraan dengan laki-laki. Mereka sudah tidak puas lagi berperan pasif semata-mata atau membiarkan diri dipandang semacam sarana. Dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan, mereka menuntut hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang ada pada mereka selaku pribadi. Dalam hal ini perlu disadari bahwa perempuan sebagai manusia adalah makhluk individual dan sosial. Dia juga membentuk dirinya sendiri, memilih, menentukan pemikiran dan tata tingkah lakunya.

Menjadi ibu sejati

Kenangan akan kelembutan hati ibunda terekam sangat kuat dalam diri Mahmud Darwis, seorang pujangga besar Palestina. Hal itu terungkap dalam puisinya, ”Bundaku…” ”Aku kangen pada roti buatan bundaku, aku kangen akan kopinya, sentuhannya, aku harus memberi harga pada hidupku, seharga air mata bundaku….” (Madina, September 2008). Jauh sebelumnya Erich Fromm, seorang psikolog terkenal dari Mazhab Frankfurt, sudah mengumpamakan ideal cinta seorang ibu sebagai susu dan madu. Dalam bukunya, The Art of Loving, Erich Fromm menguraikan bahwa cinta ibu seperti susu adalah kasih yang memberi hidup dan daya; sementara cinta ibu seperti madu adalah cinta yang memberi keindahan dan kemanisan hidup agar hidup dapat ditapaki dengan penuh gairah. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan harus sejalan dan seimbang.

Dalam harapan Fromm cinta yang hanya seperti susu hanya akan membuat manusia bermental subsisten. Artinya hanya sekadar mau mempertahankan hidup. Akibatnya, hidup menjadi asal-asalan, tanpa gairah. Kita lihat, tak jarang justru yang dikhawatirkan Fromm inilah yang masih banyak terjadi. Tak sedikit ibu, yang dengan alasan untuk mempertahankan kemolekan tubuh, tidak mau menyusui bayinya, dan lalu menggantikannya dengan susu buatan. Akibatnya, kehangatan dan keamanan berada di pelukan ibunya tak dirasakan oleh sang bayi, padahal pelukan hangat dan mesra inilah madu yang diperlukan setiap anak (L Binawan, Rohani, Mei 1992).

Di lain pihak, ada juga ibu yang sangat ekstrem dan sangat posesif dan overprotective terhadap anak-anaknya. Ini dilarang. Itu dilarang. Harus begini. Harus begitu. Di sini pun anak lalu kehilangan kegairahan hidupnya, kegembiraan masa kanak-kanaknya. Madu kehidupan tak sempat dikecapnya secara bebas. Kalau toh dikecapnya, madu itu pasti tidak asli lagi. Madu itu menjadi madu buatan yang tidak menunjukkan keasliannya.

Dalam hal ini, kita boleh menimba sejumput pengalaman pada bangsa Jepang. Kemajuan Jepang bukan pertama-tama pada etos kerja yang tinggi, tetapi ada pada perjuangan dan tugas yang diampu oleh ibu rumah tangga yang bertanggung jawab penuh akan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Ibu-ibu di Jepang menjadi plus karena mampu menghidangkan kehangatan dan kasih, bukan sekadar makanan empat sehat lima sempurna.
Membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah dan mengajar anak sopan santun. Mereka dengan rela dan tulus menjadi ibu sejati (Daoed Joesoep, Kompas 7/7/2007). Maka dalam konteks ini, ibu sejati adalah ibu yang mampu membimbing anak-anaknya mampu belajar memaknai hidup. Ibu sejati adalah yang berani melepaskan anaknya untuk memilih pasangannya, memilih bentuk hidup, dan menentukan masa depannya. Ibu sejati ibarat matahari yang senantiasa menyinari tanpa berharap menerima kembali. Terima kasih ibu. Selamat Hari Ibu 2008.

Elias Situmorang, Pastor Kapusin; Mantan Ketua Tim Seleksi KPUD Samosir, Tinggal di Medan

dimuat dalam Harian KOMPAS, Senin, 22 Desember 2008 

 

Rabu, 20 Juli 2011

Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata (Buat GM)-cerpen favoritku

Oleh Putu Wijaya

Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
”Mencari bunga untuk apa Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.
”Bunga untuk ulang tahun.”
”Yang harganya sekitar berapa Pak?”
”Harga tak jadi soal.”
”Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
”Itu?”
Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
”Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
”Ya, ini yang aku cari.’
Dia mengangguk senang.
”Mau diantar atau dibawa sendiri?”
”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
”Berapa duit.”
”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
”Tidak, aku mau ini.”
”Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
”Tidak. Ini!”
”Tapi itu tak dijual.”
”Kenapa?”
”Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
”Dua.”
”Dua apa?”
”Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.
”Jadi, benar-benar tidak dijual?”
”Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
”Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.
Dia tercengang.
”Bapak mau beli?”
”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
”Duapuluh ribu cukup.”
”Rumah Bapak di mana?”
”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?”
”Memang, tapi dilewati angkot.”
”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
”Habis, naik apa lagi?”
”Tapi angkot?”
”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
”Bukan begitu.”
”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
”Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
”Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”
”Tidak.”
Dia berpikir.
”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”
”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
”Yang dicintai mestinya.”
”Ya. Jelas!”
”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.
”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
”Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.
”Kamu saja yang memilih.”
”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
”Cinta, persahabatan, atau sayang?”
”Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:
”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.
”Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.
”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
”Ya?”
”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
”Kamu saja yang tanda tangan.”
”Kenapa saya?”
”Kan kamu yang tadi menulis.”
”Tapi itu untuk Bapak.”
”Ya memang.”
Ia bingung.
”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
”Makanya!”
Ia kembali bingung.
”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
”Ya.”
”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
”Ya. Apa salahnya?”
”Bapak yang ulang tahun?”
”Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
”Kenapa?”
”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
”Mereka siapa?”
”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
”Mereka terlalu sibuk.”
”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”
”Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
”Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.
Jakarta, 30 Juni 2011
Dimuat di Harian KOMPAS, 17 Juli 2011


**** Cerpen Putu Wijaya ini sederhana tetapi dialog-dialog di dalamnya cukup dalam. Rasanya ingin terus mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak bosan membaca cerpen ini sampai berkali-kali diulang terus. Berharap suatu saat nanti akan menulis cerpen seperti ini, sederhana tetapi dalam. Great, Putu Wijaya. Semoga terus menginsipirasi orang lain.  



Puisi Goenawan Mohammad

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita


Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba


Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada


1966