Tulisan tahun 2017 lalu dalam rangka menyambut 500 tahun reformasi. Pada tahun 2017 bertepatan dengan peringatan 500 tahun Reformasi. Romo Simon menulis suatu artikel di majalah HIDUP. Foto artikel ini dari WA yang dikirim oleh Romo Simon. Berikut isi artikel tersebut:
LUTHER DAN KATOLIK
Seorang biarawan muda dari Jerman bernama Martin Luther
(1483-1546) membuat geger kalangan Gereja, tatkala ia dikabarkan telah memaku
pernyataan sikapnya pada pintu masuk gereja biara di Kota Wittenberg, 31
Oktober 1517. Dalam surat itu, Luther mengecam praktik Gereja Katolik yang
antara lain memperdagangkan “surat pengampunan dosa” agar mendapatkan uang bagi
pembangunan aneka proyek megah, termasuk Gereja St Petrus di Roma.
Banyak orang sederhana zaman Luther percaya, dengan membeli
surat itu, mereka akan memperoleh keselamatan, sebab dosa mereka dan dosa
mereka yang didoakan, diampuni. Tapi apa artinya ini? Artinya, keselamatan
manusia pada akhirnya merupakan hasil prestasi manusia itu sendiri, bukan
lantaran rahmat Allah semata!
Nah, Luther mengoreksi cara berpikir demikian (bahwa keselamatan
bisa diperoleh dengan prestasi manusia sendiri). Di dalam batinnya Luther
sendiri mengalami, betapa ia tetap merasa berdosa meski telah melakukan banyak
usaha untuk hidup baik. Pertanyaanya, bagaimana manusia bisa mendapatkan
keselamatan atau –dalam bahasa Luther– memperoleh “iustificatio” (pembenaran)
dari Allah?
Dalam renungannya atas surat Roma 1:17, Luther menemukan ayat
ini: “Sebab di dalam Injil nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan
memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh
iman’”. Sekarang Luther menemukan jawabannya: manusia memperoleh pembenaran
dari Allah berkat iman dan hanya iman (sola fide)! Dalam imannya, manusia boleh
merasa pasti bahwa ia “dibenarkan” oleh Allah lantaran rahmat-Nya semata-mata
(sola gratia), maka bukan melalui segala macam perbuatan baik dan saleh hasil
prestasinya sendiri. Kepastian ini diketahui dari Kitab Suci saja (sola
scriptura), bukan filsafat dan hukum Gereja.
Ajaran Luther tersebut membahayakan posisi resmi Gereja Katolik saat itu. Pada 18 April 1521, dalam
sidang di Worms, Luther didesak untuk mencabut ajarannya. Tapi, ia menolak
dengan berkata: “Oleh karena suara hatiku terpaut pada Sabda Allah (=Kitab Suci),
maka aku tidak bisa dan tidak akan mencabut ajaranku. Sebab celakalah dan
mustahillah bahwa aku melawan suara hatiku sendiri. Semoga
Tuhan menolong aku!” Perpecahan besar dalam sejarah agama Kristiani pun
terjadi. Luther dikucilkan. Namun, ajarannya kelak mendasari munculnya
Protestantisme.
Dalam
sejarah teologi, ada perdebatan mengenai pembenaran “karena iman semata” (dari
pihak manusia) atau “karena rahmat semata” (dari pihak Allah) ini. Luther
dituduh melawan ajaran Kitab Suci, bahwa “iman tanpa perbuatan pada hakikatnya
mati” (Yak 2,17), hal mana berarti untuk keselamatan diperlukan baik iman
maupun perbuatan.
Tetapi
prinsip “hanya iman” pada Luther tidak boleh ditafsirkan bahwa manusia hanyalah
bersikap pasif dan tidak perlu berbuat baik untuk keselamatannya. Luther mau
mengatakan, bahwa keselamatan manusia itu berasal dari Allah, dan bahwa manusia
tidak bisa “menyogok” Allah untuk menyelamatkannya, “sebab” ia telah melakukan
perbuatan baik. Keselamatan dari Allah adalah anugerah atau rahmat Allah melulu!
Manusia menanggapinya secara positif dalam iman yang hidup. Dari iman yang
hidup inilah, muncul pelbagai perbuatan baik yang nyata sebagai ungkapannya.
Jadi, perbuatan baik, misal ziarah, puasa, ibadat, dan sebagainya “bukanlah”
ganti (substitusi) bagi iman, melainkan konsekuensi dari iman yang hidup.
Ibarat pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, demikianlah orang beriman.
Kata Luther, “Perbuatan baik tidak akan pernah membuat seseorang menjadi baik
dan saleh, melainkan sebaliknya, seorang yang baik akan melakukan perbuatan
yang baik dan saleh.”
Berkat
adanya pemahaman baru ini relasi Gereja Katolik dengan Gereja Protestan makin
terasa erat. Sejak pertemuan di Augsburg, 31 Okt 1999, diperoleh persetujuan
menyangkut “pembenaran karena rahmat” ini antara pihak Katolik dengan Ikatan
Gereja Lutheran Sedunia, lalu dilanjutkan dengan Dewan Gereja Metodis Sedunia
(23 Juli 2006), dan akhirnya dengan Perserikatan Gereja Reform Sedunia (4 Juli
2017) di Wittenberg. Salah satu dari beberapa kerikil tajam yang mengganggu
ekumene dengan demikian disingkirkan lewat pengakuan bersama: “Kami
bersama-sama mengakui, bahwa dalam upayanya mencapai keselamatannya tergantung
sepenuhnya pada rahmat Allah… Pembenaran terjadi karena rahmat semata”.
Simon Petrus L. Tjahjadi