Ini review novel “Burung-Burung Manyar” ala
aku ya.😊
Novel “Burung-Burung
Manyar”
Penulis : Yusuf
Bilyarta Mangunwijaya (Y.B.
Mangunwijaya) atau Romo Mangun
Penerbit : Kompas
Isi/Ukuran : 406 halaman; 20 cm
ISBN : 978-9-797-098421
Isi/Ukuran : 406 halaman; 20 cm
ISBN : 978-9-797-098421
Cetakan 1 : 2014
Cetakan 5 : Juni
2016
Tokoh utama: Teto, Atik, Mayor Verbruggen .
Konflik batin yang dialami Teto, si tokoh utama dalam
novel ini. Teto adalah anak
tunggal dari pasangan Letnan Barjabasuki (keturunan keraton yang lulus dari
Akademi Belanda) daan Maurice, ibunya keturunan Indo-Belanda. Keluarganya
mengabdi pada pihak Belanda. Novel ini
menceritakan konflik batin yang dialami Teto, mulai ia remaja sampai ia dewasa.
Ia sempat bergabung dengan Belanda sebagai tentara KNIL.
Mungkin sudah
banyak yang membahas isi novel ini yang menyorot konflik batin yang dialami Teto,
si tokoh utama novel ini. Saya sih penasaran mengapa Romo Mangun membuat judul
novelnya Burung-burung Manyar. Jadi saya hanya mengambil atau membahas dari
sudut itu saja ya.
Judul novel
ini diambil dari disertasi Doktoranda Larasati Janakatamsi alias Atik yang
membahas Burung-burung Manyar. Atik adalah gadis dari masa lalu Teto. Burung-burung
manyar adalah pencuri padi yang pandai membuat sarang berbentuk pertut dan berpipa ke bawah (Mangunwijaya: 311)
"Apa relevansi penelitian terhadap pembangunan
kehidupan kita sebagai nasional yang masih muda", tanya si penguji. Larasati menjelaskan tentang kisah tragis
burung-burung manyar jantan. Mereka harus membangun sarang yang rapi dan dan
becitra perlindungan (Mangunwijaya: hal. 312.
Sarang yang dibangun dari alang-alang
atau daun-daun tebu atau daun-daun yang panjang. Sementara itu betina
hanya melihat saja. Kemudian manyar betina akan memilih rancangan sarang dan
memilih yang terbaik dan berkenan di hati mereka (hal. 313). Yang terpilih
pasti bahagia karena karya dipilih, sementara manyar jantan yang tidak terpilih
dibongkar hingga rusak. Manyar-manyar jantan yang frustasi mencari alang-alang
lagi bahan untuk membangun sarang baru. Dari manakah perilaku pantang menyerah ini muncul?
Pada akhirnya,
pembahasan Atik mengarah pada citra diri atau jati diri atau Innerlichkeit dalam
Bahasa Jerman, sesuatu sumber kesadaran diri di dalam lubuk kedalaman hakikat
kita yang masih serba misteri ini (Mangunwijaya: hal. 317). Menurut Atik, burung-burung manyar bukan hanya membangun sarang burung, melainkan
bahasa Pembangunan itu sendiri yang mengejawantah ke dalam sikap dan
emosi yang dpaat tercatata oleh mata manusia, tertangkap telinga manusia (Mangunwijaya:
hal 318). Selanjutnya ada paparan untuk mencari arti dan makna untuk memahamai
burung manyar ataupun makhluk hidup lainnya. Paparan menarik yang agak filosofis
ada pada halaman 316-319.
Novel sangat menarik karena membahas berbagai hal
filosofis, mitos, legenda bahkan sejarah. Sungguh Romo Mangun sangat pintar
meramu semua itu menjadi bacaan yang tidak membsankan meski ada pembahasan sejarah
juga. Ada beberapa istilah/kata bahasa Jawa, tetapi itu kemudian diberikan arti
pada halaman tersebut. Novel ini
direkomendasikan pokoknya.
Catatan:
Sebelumnya novel ini dicetak oleh Penerbit Djambatan pada tahun 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar