Minggu, 22 Maret 2020

Selamat Jalan Pak Ongirwalu - Bapakku yang Baik



Sumber foto:




Kabar mengagetkan itu tiba-tiba muncul. Kabar dukacita dari salah seorang dossenku dan rekan kerjaku saat di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Beliau, Pdt (Em) Hendrik Ongirwalu, M.Th meninggal dunia pada tanggal 18 Maret 2020. Padahal masih kudengar beliau memimpin salah satu acara pada rapat pendeta GPIB di bulan Februari yang lalu. 

Pak Ongir, biasa kami sapa, adalah sosok dosen yang kebapakan, sangat baik. Beliau sempat menjadi pendeta/pembimbing asrama saat aku mahasiswa tingkat 1. Lalu, menjadi dosen mengampu beberapa mata kuliah saat aku tingkat 3 dan 4. Ketika aku telah lulus kuliah, aku sempat bekerja di Bagian Administrasi Akademik dan kami menjadi rekan kerja. Aku pun semakin mengenal secara dekat sosok pak Ongirwalu. Sapaan lembut memanggil namaku dengan ciri khas sangat kebapakan, tidak mau merepotkan para staff. Jika ada yang dia pinta, pasti dia tanya apakah aku sudah makan siang atau belum. Beberapa pertanyaan yang tulus dapat kita rasakan, misalnya bertanya tentang kabar kita.

Beliau selalu mau mendengarkan dan membantu jika ada keluhan dari mahasiswanya, apalagi mahasiswa bimbingannya, termasuk soal dana uang kuliah dan uang makan. Pak Ongirwalu secara senyap akan meminta bantuan dari jemaatnya. Kadang aku kesal juga sama mahasiswa yang pernah dibantu Pak Ongirwalu yang bersikap tidak tahu berterima kasih. Setidaknya perbaiki diri, tidak telat kuliah, atau kumpulkan tugas. Tetapi Pak Ongirwalu selalu dengan senyum menanggapinya. Oh, Bapak...

Pernah suatu kali saat aku ke Jakarta dan singgah ke STT-J, aku, Sherli  dan Marcia melihat Pak Ongir. Sherli masih menjadi aktivis sosial/pekerja NGO, Marcia melayani sebagai pendeta dan sedang mengurus visa ke Australia karena diundang gereja di sana dan kami memang pas ketemu di kampus tercinta. Kami segera mengobrol dan beliau tampak tersenyum terus melihat tingkah kami para mantan mahasiswanya yang udah tersebar di mana-mana. Kami minta foto Bersama Bapak. Dan, untunglah ada foto kami bersama yang kemudian menjadi kenangan. 

Pak Ongirwalu meninggal dunia setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit. Kabarnya beliau minta dikremasi. Pak Ongir, terima kasih untuk perhatianmu, kebaikan dan kasihmu buat kami semua. Selamat jalan Pak Ongir, Bapakku yang baik.



Jumat, 20 Maret 2020

Sortir buku lagi


Sortir buku masih berlanjut.
Kali ini buku akan dikirim ke Sumba. Kadang-kadang sulit bagi kita untuk melepas barang-barang yang melekat dan memiliki kenangan bagi kita. Menyortir buku menjadi salah satu kegiatan yang bisa membantuku untuk mengendalikan diri akan "arti kepemilikan" dan "berbagi". Rasanya semua barang yang telah bersama-sama dengan kita ingin kita genggam atau simpan. "Ah, buku ini nanti bisa kubaca-baca lagi". Wah, ini 'kan novel yang ditulis penulis favoritku. Sayang jika kulepas atau kuberikan pada yang lain' Berbagai alasan menyergap bahkan ketika niat dan aksi memasukkan buku ke kotak. 





Bulatkan tekad dan keinginan. Maka jadilah paket buku-buku berlapis kertas coklat...
Buku pun tiba di Sumba. Kiranya buku-buku itu berguna ya

Buku diterima Kak Ning, petugas perpustakaan
Buku untuk STT GKS  di Lewa, Sumba Timur



Suatu hari di TK Terang Bangsa

Setelah sekian lama, pada tanggal 13 Maret 2020, aku berkunjung lagi ke TK Terang Bangsa. 
Ibu Renny Ginting (selaku istri gembala sidang GBI Brayan) memintaku menjadi pembicara untuk orangtua murid TK Terang Bangsa. Sebelumnya sejak tahun 2014, aku sudah beberapa kali diminta untuk membantu TK ini. 

Udah, hanya mau bilang itu aja. 




TK Terang Bangsa ini beralamat di:
Kompleks Pemda Tingkat I
Jln. Cempaka Raya Baru No. 2
Sempakata - Medan Selayang

Sabtu, 14 Maret 2020

(Lirik) My Heart Was Home Again - Josh Groban



My Heart Was Home Again

So it goes, history shows

Deserts must expand
And camels sail like wooden ships
Like women on the strand


There's sand on Second Avenue

And the wind blows like a train
Taxis light up like a string of pearls
Around the block again


And I remembered everything

And every windowpane
Every word came back to me
The way it used to be


Then I saw your face across the street

And my heart was home again

There's a bus that leaves at eight fifteen

And another one at ten
Should I climb aboard, risk everything
And ride it to the end


Watch the hills like roller coasters

Up against the sky
And wish that you were here by me
So close that I could die


You said love wrecks everything
And none of us survive
So I got over you last night
And I am still alive
Then I saw your face across the street
And my heart was home again
And I remembered everything
And every windowpane
Every word came back to me
The way it used to be
Then I saw your face across the street
And my heart was home again.

Source: Musixmatch


Kamis, 12 Maret 2020

Tidak Makan Pizza Tapi Janji Ketemu di Pizza Hut


"Ntar kalau aku ke Jakarta, kita ketemuan ya.. . Loe nggak usah ke bandara kayak dulu". Begitu pesanku ke Novita atau biasa kami panggil Amoy sejak mahasiswa dulu. Kami pernah ketemuan di bandara Soekarno Hatta saat aku transit dari Sumba. Kalu nggak salah waktu itu Februari 2019 yang lalu. Amoy menyempatkan datang karena katanya pastorinya dekat ke Soetta. Dan, kami ngobrol di salah satu sudut gerai fast food di bandara. 

Pas, bulan Maret aku ke Jakarta dengan Mama untuk mengurus Visa Schengen ke VFS Jakarta. Momen itu dipakailah untuk memenuhi janji ketemuan. Pizza Hut, akhirnya kami sepakat soal tempat ketemuan. Ternyata, tak satupun makanan yang kami pesan menyebut nama pizza. Kami pesan menu promo gratis minum.  

Dan kami sungguh menikmati makanan yang bukan pizza dengan cerita-cerita lucu di Pizza Hut. Mulai dari cerita pengalaman, mimpi, faktor "U" dan bahkan cerita waktu mahasiswa yang bisa dikategorikan untold story...😁😁.

Memang cocok sih yang pernah disebutkan suatu kutipan yang menyebutkan seperti ini:
"Sometimes, having coffe with your best friend, is all of the therapy you need."


Tapi saat itu kami nggak minum kopi, tapi minum "milkshake" but we have fun together. 



Senin, 02 Maret 2020

(Review) The Castle in The Pyrenees -Jostein Gaarder


The Castle in The Pyrenees
Kisah Filosofis tentang Jiwa dan Nurani

Penulis: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan Publishing
Isi/ukuran: 296 halaman;  13 cm x 21 cm
ISBN: 978-602-441-022-3
Cetakan 1: Maret 2018

Sampul belakang
Bagaimana keyakinanmu tentang hal-hal yang tak kauketahui jawabannya?
Selama lima tahun, Steinn dan Solrun hidup bersama dengan bahagia. Namun, semua berubah ketika dalam perjalanan ke pegunungan, mereka menabrak seorang nenek. Sejak kejadian itu, mereka berpisah, dan jalan hidup mereka saling menyimpang. Tiga puluh tahun kemudian, Steinn dan Solrun bertemu di balkon sebuah hotel. Hotel tempat tujuan mereka berlibur tiga puluh tahun lalu, sebelum kejadian tabrak lari itu terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi tiga puluh tahun lalu? Benarkah mereka telah melakukan pembunuhan tak disengaja? Tetapi mengapa tak ada berita maupun tak ada yang melaporkan tentang tertabraknya seorang wanita tua?

The Castle in the Pyrenees, karya Jostein Gaarder yang mempertanyakan tentang jiwa dan nurani manusia, melalui hubungan dua anak manusia. Kisah yang mengeksplorasi posisi kesadaran manusia di semesta. Bisakah sains menjelaskan semuanya, ataukah ada daya tak terlihat yang memengaruhi kehidupan kita?
**

Stein dan Solrun bertemu kembali setelah tiga puluh tahun kemudian. Steinn berlatar belakang sains,  sementara Solrunn yang berlatar belakang spiritualitas menjadi kerap saling mempertanyakan beberapa hal tentang makna hidup dan kematian melalui korespondensi email mereka. Ciri khas Gaarder (seperti novel awalnya-dunia Sophie)  yang menampilkan diskusi-diskusi  filosofis lewat novel sangat khas juga dalam novel ini. Malah kesannya ini buku filsafat berasa novel, bukan novel berasa filsafat.

Kalimat-kalimat dalam novel ini tidak berat, namun mendalam (terima kasih penerjemah). Pembahasan tentang spiritualitas, ateisme, tentang penciptaan, bahkan kadang kental dengan sains tentang asal mula planet ini dan juga perubahan cuaca juga termasuk tema yang dibahas dalam korespondensi mereka. Pada bagian asal mula planet pendapat mereka cukup berbeda. Salah satu mengambil dari sisi sains, sementara yang lain dari sisi spiritualitas. Stein dan Solrun juga  membicarakan kisah masa lalu, yaitu mengapa setelah lima tahun bersama, mereka akhirnya berpisah. Meski tema yang dibahas agak berat, tetapi Gaarder juga menggambarkan konteks keindahan alam tempat si tokoh utama berada. Ya, Norwegia menjadi konteks novel ini.

Membaca novel ini kita seperti ditarik pada gaya pemikiran keduanya. Pembaca bisa menempatkan diri untuk memilih peran mereka di salah satu tokoh. Apakah pembaca cenderung mengikuti gaya pemikiran Steinn atau Solrun?
Akhir cerita novel ini tidak tertebak. Dan, sedih menurutku. Pertemuan yang mereka rencanakan tidak terjadi. Tetapi pertukaran nila-nilai filosofis telah terjadi. Salah satu tokoh utama mengalami kecelakaan tak terduga. Menyedihkan..

(Novelnya bagus menurutku, apalagi untuk penggemar tema-tema filosofis ini. Tetapi novel ini akhirnya menjadi proyek ‘’berbagi lewat buku’’ alias tidak menjadi koleksi di rak bukuku lagi. Mungkin karena terbawa perasaan dengan akhir kisahnya..Hmmm)

Tentang penulis (dari website Mizan):

Jostein Gaarder adalah penulis novel filsafat Sophie’s World (terj. Indonesia: Dunia Sophie, Mizan, 1996) yang merupakan salah satu novel terlaris di dunia pada 1995. Sophie’s World telah diterjemahkan dalam 50 bahasa. Ciri khas tulisannya yang memadukan keindahan dongeng dan kedalaman perenungan dapat dinikmati dalam karya-karyanya yang telah diterbitkan Mizan, di antaranya: Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng, Dunia Maya, Dunia Cecilia, The Orange Girl, The Magic Library, Dunia Anna, Misteri Soliter, The Puppeteer, dan The Castle in the Pyrenees. Selain menulis, dia giat mengampanyekan pelestarian lingkungan melalui Sofie Foundation yang didirikannya bersama istrinya, Siri, pada 1997. Kini, dia tinggal di Oslo, Norwegia.

Minggu, 01 Maret 2020

Yuk Donasi Buku Ke Kareta Pustaka



Saat menyortir buku masih berlanjut. Kali ini buku-buku yang akan disortir akan dikirim ke suatu taman baca yang ada di Sibolga.  Taman Baca ini dikelola oleh Bang Andilo Simamora. Dia mengumpulkan buku-buku untuk anak-anak, lalu mendatangi anak-anak dengan sepeda motor atau biasa disebut  kereta kalau di Sumatera Utara. Bukan kereta api ya...hehehe






Buku dengan tanda panah biru itu tentang perjalanan anak-anak ke Eropa. Sengaja kusebutkan ke Bang Andilo harapanku kelak sada anak-anak dari Kareta Pustaka yang bisa menjelajahi Eropa, entah untuk studi atau bekerja.



Nah, Bang Andilo mengirimkan video tentang buku-buku yang sudah disebarkan kepada anak-anak di sana. Dia mengirimkan video melalui WA pada tanggal 25 Februari yang lalu. Ternyata, pesan di kertas berbentuk bunga juga dipajang euy...😀😀

Jika kalian tertarik untuk mendonasikan buku-buku bisa buku baru atau buku yang masih layak pakai (bukan buku tabungan ya hehehe), kalian bisa kirim ke alamat ini:

Kareta Pustaka
Up. Andilo Simamora
Jln. Matahari Raya I No. 32
Perumnas Kalangan, Pandan
Tapanuli tengah, 22611
HP 081264830909